Hirarki Gereja Katolik Indonesia

MERAYAKAN 50 TAHUN HIRARKI GEREJA KATOLIK INDONESIA

3 Januari 1961-2011

Pada tanggal 3 Januari 1961 Sri Paus Yohanes XXIII menerbitkan Dekrit Quod Christus Adorandus yang meresmikan berdirinya Hirarki Gereja Katolik di Indonesia. Hierarki dalam bahasa Yunani berarti asal-usul pemerintahan yang kudus. Dalam Gereja Katolik, hirarki merupakan tata susunan sekelompok pejabat dalam umat beriman yang dipanggil untuk merepresentasikan Kritus yang tidak kelihatan sebagai Kepala Tubuh. Pada kesempatan ini marilah kita sejenak merefleksikan kembali perjalanan Gereja Katolik Indonesia, termasuk Keuskupan Bandung, yang kita cintai.

Awal Karya Misi di Nusantara
Sejak pertengahan abad ke-7 sudah terdapat pemeluk Kristen di pantai barat Sumatera Utara. Pada abad ke-13 dan 14 beberapa misionaris Fransiskan singgah di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan ketika berlayar menuju Cina. Kedatangan Portugis di Malaka pada tahun 1511 membuat pewartaan Injil semakin menyebar. Pembaptisan penduduk di Maluku pada tahun 1534 dianggap sebagai awal Gereja Katolik Indonesia. Karya St. Fransiskus Xaverius di Maluku pada tahun 1546-1547 dilanjutkan oleh sejumlah imam Jesuit dan Fransiskan.

Penguasaan VOC di sejumlah wilayah Nusantara memperburuk karya misi. Sejak tahun 1621 Gereja Katolik dilarang di Nusantara. Kampung-kampung Katolik dihancurkan, umat Katolik tidak diberi hak hidup, para imam yang berkebangsaan Portugis dikejar dan diusir. Hanya beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur yang terus bertahan.

Batavia sebagai Pusat Misi
Pada tahun 1806 Raja Louis Napoleon (Pangeran Prancis yang dijadikan Raja Negeri Belanda) mengumumkan undang-undang kebebasan beragama di Negeri Belanda. Gereja Katolik di Nusantara pun dapat berkembang lagi. Pada tahun 1807 dibentuklah Prefektur Apostolik Batavia yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. [ Prefektur apostolik adalah daerah misi di mana Gereja Katolik belum berkembang. ] Dua imam praja dari Negeri Belanda tiba pada tahun 1808 sebagai misionaris pertama. Sejumlah imam praja pun menyusul.
Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik. [ Vikariat apostolik adalah bentuk yurisdiksi teritorial Gereja Katolik di daerah yang belum dibentuk keuskupan ]. Sementara jumlah imam praja semakin berkurang, para imam Jesuit (SJ) terus  berdatangan sejak tahun 1859. Pada akhir abad ke-19 tanggung jawab evangelisasi di Nusantara secara kanonik dialihkan dari para imam praja kepada para imam Jesuit.

Perkembangan di Cirebon dan Priangan
Tidak terlalu lama setelah imam-imam Jesuit pertama tiba di Batavia, dikembangkan pula wilayah Jawa Barat bagian timur sebagai daerah penggembalaan. Pada tahun 1878 dibangunlah Stasi Cirebon, dengan Rama A.v. Moorsel, Pr sebagai pastor stasi, yang wilayahnya meliputi pula Tegal dan Priangan. Pada tahun 1880 diresmikanlah Gereja St. Yosef.
Tidak terlalu lama sesudah pada tahun 1884 dibangun jalur kereta api Batavia-Bandung, dibangunlah Gereja St. Franciscus Regis di Bandung yang diberkati pada tahun 1895 (gereja ini kemudian beralih fungsi menjadi gedung pertemuan sosial sesudah dibangun Gereja St. Petrus, dan sekarang sudah tidak ada, berlokasi di bagian baru gedung Bank Indonesia).
Pada tahun 1906, ketika Bandung diresmikan menjadi sebuah kota, para suster Ursulin (OSU) datang di Bandung untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah. Pada tahun 1907 Pemerintah Hindia Belanda secara administratif memisahkan Priangan bersama Kota Bandung dari Distrik Cirebon. Gereja Katolik pun secara resmi membentuk Stasi Bandung. Di Cimahi dibangunlah Gereja St Ignatius (1908) untuk melayani keluarga militer. Di Garut dibangun Gereja St. Maria (1917).
Suster-suster Carolus Borromeus (CB) tiba di Bandung pada tahun 1921, yang segera mendirikan R.S. St Borromeus. Pada tahun ini pula dimulai pembangunan Gereja St. Petrus, yang diresmikan pada tahun 1922. Ada pun Gereja St. Fransicus Regis dijadikan gedung perkumpulan sosial Katolik. Biara CB selesai dibangun pada tahun 1924. Pada tahun ini pula dibangun SD St. Joannes Berchmans (sekarang SD St Yusuf) di belakang Gereja St. Petrus.

Pembagian Wilayah Misi Nusantara
Pada awal abad ke-20 tampak semakin jelas bahwa satu vikariat apostolik (Batavia), yang mencakup seluruh Nusantara, terlampau luas. Wilayah dan tanggung jawab perlu dibagi-bagi. Sejak tahun 1902 beberapa daerah sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia ke dalam beberapa wilayah independen (vikariat apostolik maupun prefektur apostolik), yaitu Maluku dan Irian (1902), Kalimantan (1905), Sumatera (1911), Nusa Tenggara (1913/14), Sulawesi (1919). Vikariat Apostolik Batavia hanya meliputi Jawa saja.
Untuk menjaga perkembangan dan kepentingan bersama maka para waligereja membentuk suatu perwakilan tetap di Batavia pada tahun 1924. Inilah cikal bakal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Kantor Waligereja (Kawali). Pada tahun 1925 diadakan konferensi para waligereja pertama.
Pembagian wilayah terus berlanjut hingga seluruh Nusantara terbagi dalam wilayah-wilayah misi yang ditangani oleh sejumlah serikat religius (SJ, MSC, OFMCap, SVD, SCJ, SSCC, OCarm, CM, OSC, OFM, MSF). Umat Katolik pada tahun 1932 sekitar 300 ribu orang beriman.

OSC Berkarya di Jawa Barat Bagian Timur
Sebagai bagian dari kebijakan pembagian wilayah misi, pada tahun 1926 wilayah Jawa Barat bagian timur diserahkan kepada OSC (Ordo Sanctae Crucis). Tiga imam tiba di Bandung pada tanggal 9 Februari 1927, yaitu: Rama Marinus Nillesen, OSC; Rama Johannes de Rooij, OSC; dan Rama J.H. Goumans, OSC sebagai pemimpin. Pada hari itu diadakan serah terima dari para imam SJ kepada para imam OSC tersebut. Pada tanggal 17 Agustus 1927 didirikanlah Heilige Kruis Stichting (Yayasan Salib Suci). Pada tahun 1930 datanglah para Bruder St. Aloysius (asal Oudenbosch, Negeri Belanda) di Bandung, mendirikan sekolah MULO (sekolah menengah pertama).
Melihat perkembangan karya misi di timur Bandung maka dibangun dan diberkatilah Gereja Salib Suci Bandung (1929), Gereja Hati Kudus Yesus Tasikmalaya (1931) dan Gereja Antonius Cicalengka (1931).
Karya misi terkait erat dengan karya pendidikan dan kesehatan. Di antara beberapa penyelenggara pendidikan, Yayasan Salib Suci mempunyai peran penting. Perhatian diarahkan pertama-tama kepada orang-orang bumiputera. Selain dibangun gereja, dibangun pula poliklinik, yang kemudian dilengkapi dengan rumah sakit, asrama untuk perawat dan anak laki-laki, serta gedung SD dan SMP.
Syukurlah pada waktu itu yang mendampingi para imam untuk mengurusi sekolah-sekolah adalah orang-orang Sunda yang ternama, seperti Rd. Agah Suriawinata (suami Pahlawan Nasional Rd. Dewi Sartika). Kemudian Rd. Hadji Djuhari, yang menjadi tangan kanan Rama Goumans. Dengan Rd. Hadji Djuhari menjadi kepala sekolah maka putera-puteri Sunda tidak takut memasuki sekolah-sekolah Katolik. Di samping itu ada Rd. Adung Suriadilaga, sesepuh Kabupaten Bandung. Beliaulah pemegang sejarah Keluarga Wiranata Kusumah.

Prefektur Apostolik, Lalu Vikariat Apostolik Bandung
Pada tanggal 20 April 1932 Paus Pius XI mengangkat karya misi di Jawa Barat bagian timur menjadi Prefektur Apostolik Bandung, dan tak lama kemudian diangkatlah Mgr. J.H. Goumans, OSC sebagai Prefek Apostolik. Sejak itu karya pewartaan dilakukan lebih gencar lagi, dengan kedatangan tenaga-tenaga baru. Sembilan tahun kemudian, pada tahun 16 Oktober 1941 status Prefektur Apostolik Bandung ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Bandung.

Dasar Persiapan Bagi Gereja Katolik Indonesia
Masa sebelum Perang Pasifik pecah dapat disebut sebagai masa bertunasnya Gereja di seluruh Nusantara. Pada tahun 1942 sekitar 84 % umat Katolik sudah terdiri dari orang Indonesia. Sebagian besar mereka tinggal di pula-pula NTT. Di Pulau Jawa dan di kota-kota besar umat Katolik terdiri dari orang-orang Eropa dan Tionghoa serta Indo. Namun unsur-unsur yang kemudian membentuk Umat Katolik Indonesia sudah diadakan.
Perkumpulan-perkumpulan kaum awam dibina. Seminari-seminari sudah dikembangkan. Di beberapa novisiat pemuda-pemudi Indonesia sudah menyiapkan diri untuk mempersembahkan hidup mereka kepada Kristus dan GerejaNya. Sekolah-sekolah Katolik mendidik banyak orang yang kemudian secara aktif ikut serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Beberapa orang yang masih muda sudah ikut secara aktif berpolitik nasional atas semangat dan dorongan Romo van Lith, SJ. Para waligereja sudah membentuk Centraal Missie Bureau di Batavia pada tahun 1931.
Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. Willekens, SJ pada waktu Perang Eropa sudah berkobar mengambil inisiatif supaya setengah vikariatnya diangkat menjadi Vikariat Apostolik Semarang di bawah penggembalaan seorang vikaris apostolik bumiputera, Mgr. A. Soegijapranata, SJ (yang dikenal dengan “Rama Kanjeng dari Solo”) walaupun hampir 40 % umat terdiri dari orang Belanda.

Pendudukan Tentara Jepang
Atas umat yang baru mekar itu turunlah “pembaptisan api” selama masa pendudukan Jepang (1942-45) dan Perang Kemerdekaan (1945-50). Umat mengalami pencobaan dan pengorbanan besar.
Selama masa pendudukan tentara Jepang hampir semua misionaris diinternir, banyak gereja ditutup, rumah sakit dan sekolah dirampas. Kaum awam terpanggil mengambil alih banyak kegiatan gerejani. Umat yang besar di Flores diizinkan mempertahankan uskupnya, Mgr. Leven, SVD. Sejak Agustus 1943 Mgr. Paulus Yamaguchi (Nagasaki) dan Mgr. A. Ogihara, SJ (Hiroshima) bersama beberapa imam Jepang ikut melayani umat dan sedapat-dapatnya melindungi rakyat terhadap kesewenang-wenangan tentara. Vikaris Apostolik Jakarta Mgr. P. Willekens, SJ, berkat keberanian dan kecerdasannya, mengangkat diri sebagai “wakil resmi”  Vatikan, sehingga beliau dapat mengkoordinasikan beberapa imam yang masih bebas dan meringankan nasib ribuan orang yang diinternir. Hanya Mgr. Soegijapranata, vikaris apostolik bumiputera, yang dapat bergerak bebas melayani dan memperkuat umat.
Pada tanggal 16 Oktober 1941 status Prefektur Apostolik Bandung ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Bandung. Hari penahbisan vikaris apostolik direncanakan pada 19 Maret 1942 namun digagalkan oleh tentara pendudukan Jepang. Akhirnya penahbisan Vikaris Apostolik Mgr. J. H. Goumans, OSC dilaksanakan di Gereja Katedral Santo Petrus Bandung pada tanggal 22 April 1942 oleh penahbis utama Mgr. P. Willekens, SJ (Jakarta) dan penahbis-serta Mgr. A. Soegijapranata, SJ (Semarang), disaksikan oleh umat Katolik yang berjejal. Setelah upacara selesai, semua orang pulang begitu saja. Segala perkumpulan di luar gereja dilarang: tidak ada resepsi, tidak ada ramah-tamah, tidak ada foto satu pun.

Tidak lama sesudah itu, para misionaris (imam, bruder, suster) masuk kamp  interniran di Jakarta, Cimahi, Bandung, Semarang dan Yogyakarta. Banyak di antara mereka meninggal di penjara karena tidak kuasa menanggung beban siksaan fisik tentara Jepang. Karya-karya misionaris seperti sekolah, panti asuhan, dan rumah sakit terpaksa ditutup. Kecuali kekurangan tenaga, gedung-gedung misi banyak yang diambil alih untuk kepentingan tentara Jepang. Di Vikariat Apostolik Bandung hanya seorang pastor yang tidak ditahan, yaitu Rama H. Reichert, OSC.
Banyak korban jiwa jatuh akibat perlakuan kejam oleh tentara Jepang, yaitu 160 suster, 74 imam, dan 47 bruder. Mgr. Soegijapranata mengirim surat kepada Kekaisaran Jepang di Tokyo, memprotes keras, menjelaskan bahwa antara Vatikan dan Pemerintah Jepang terdapat hubungan diplomatik, seharusnya balatentara Jepang tidak boleh seenaknya berlaku kejam.

Revolusi Kemerdekaan
Kapitulasi Jepang pada bulan Agustus 1945 kepada Sekutu dan sekaligus Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 menempatkan Gereja Katolik Indonesia dalam perspektif lain yang menggembirakan, kendati di sana-sini masih terjadi kekacauan. Di Vikariat Apostolik Bandung hal ini ditambah dengan adanya Darul Islam, yang menjadi hambatan cukup berat pada hari-hari dan tahun-tahun sesudah kemerdekaan.
Gereja Katolik Indonesia mendukung Republik Indonesia. Sikap Gereja Katolik Indonesia ini dipertegas dengan penolakan Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. P. Willekens, SJ, untuk menerima bintang jasa Belanda pada tahun 1946.
Seorang tokoh awam Katolik, Bapak I.J. Kasimo, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949), menjadi Menteri Muda Kemakmuran (1947), Menteri Kemakmuran merangkap Menteri Persediaan Makanan Rakyat (1948) dan “Menteri Gerilyawan” di Jawa Tengah (1948-1949) dalam Pemerintahan Darurat. Di Yogyakarta, pada tahun 1946 para suster Carolus Boromeus di Rumah Sakit Panti Rapih dengan rela memilih tidak mengungsi sehingga Jenderal Soedirman tanpa ragu mempercayakan perawatan dirinya kepada mereka.
Akhir November 1946, Dwitunggal Soekarno-Hatta memindahkan pusat pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta. Sebagai ungkapan sikap nasionalisme, sejak 15 Februari 1947 Mgr. A. Soegijapranata, SJ memindahkan Kantor Vikariat Apostolik dari Gereja Katedral Semarang ke Gereja Bintaran, Yogyakarta. Di kompleks Gereja Bintaran yang terletak di tepi timur Kali Code, ketika Presiden Soekarno diasingkan ke Pulau Bangka, Mgr. Soegija pernah menyembunyikan dan memberi tempat mengungsi Ibu Negara Fatmawati, yang baru saja melahirkan Megawati, dari kejaran serdadu Belanda.
Di medan perang mempertahankan bangsa dan negara, gugur Komodor Udara Agustinus Adisoetjipto (1947), Kolonel Ignatius Slamet Rijadi (1950), dan Yos Sudarso (1961).

Alam Kemerdekaan
Vikaris Apostolik Bandung, Mgr. J.H. Goumans, OSC,  keluar dari kamp interniran Jepang dengan kesehatan yang terganggu di usia sepuhnya sehingga pada tahun 1950 beliau terpaksa kembali ke Negeri Belanda. Pada tahun 1951 beliau mohon dibebastugaskan, dan Vatikan mengabulkannya. Pada tanggal 18 Januari 1952 diterima telegram yang memberitahukan bahwa Vatikan telah menunjuk Rama Petrus Marinus Arntz, OSC sebagai Vikaris Apostolik yang baru. Upacara penahbisan Mgr. Arntz dilakukan di Gereja Katedral St. Petrus Bandung pada tanggal 25 Maret 1952 oleh konsekrator Internuntius Mgr. G.J. de Jonghe d’Ardoye. Dalam upacara ini hadir antara lain para waligereja: Mgr. P. Willekens, SJ (Jakarta), Mgr. W.A. Schoemaker, MSC (Purwokerto), Mgr. A. Soegijapranata, SJ (Semarang), Mgr. Verhoeks, CM (Surabaya) dan Mgr. Dr. N.J.C. Geise, OFM (Sukabumi). Selain itu hadir pula Menteri Agama K.H. Wachid Hasyim, Menteri Pertanian Ir. Suwarto, sejumlah anggota parlemen, Residen
Abas Wilagasomantri, Residen Priangan R. Ipik Gandamana, Walikota Bandung Enuch, dan Panglima Komando Tentara dan Teritorium III Siliwangi Kol. Alex Evert Kawilarang.
Pada dasawarsa 1950-an umat Katolik Indonesia belajar menuju kemandirian. Umat Katolik ikut berpartisipasi aktif sebagai bagian dari bangsa yang baru saja merdeka, dengan tokoh utama Mgr. Soegijapranata dan Bapak I.J. Kasimo. Karya pendidikan, kesehatan, dan sosial direvitalisasi dan dikembangkan. Partisipasi kaum awam Katolik meningkat pesat, apalagi sesudah Konggres Umat Katolik Indonesia (KUKSI) tahun 1949. Para waligereja memikirkan pula kontribusi dalam pendidikan tinggi bagi masyarakat Indonesia. Lalu berdirilah perguruan tinggi yang kelak menjadi Universitas Katolik Parahyangan Bandung (1955), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (1955), Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (1958), dan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta (1960).
Pada tahun 1955, tahun diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung, diselenggarakan pula untuk pertama kali sesudah perang, sidang para waligereja. Sidang yang diselenggarakan di Bruderan Surabaya tersebut dihadiri oleh 22 waligereja. Salah satu keputusan penting adalah bahwa selanjutnya konferensi ini disebut Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI, kelak diubah menjadi KWI), dengan suatu dewan pusat yang dipimpin Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Para waligereja menekankan pentingnya Pancasila sebagai dasar kuat bagi kehidupan bermasyarakat. Aksi-aksi sosial pun secara terorganisasi perlu dilaksanakan.

Peresmian Hirarki Gereja Katolik Indonesia
Persiapan untuk peresmian Hirarki Gereja Katolik Indonesia dilakukan oleh sebuah panitia khusus (1955), kunjungan Kardinal Agagianian. Dengan satu dasawarsa 1949-59 menikmati suasana relatif tenang di alam kemerdekaan RI, umat Katolik berkembang dari 784.300 menjadi 1.176.700, bahkan pada tahun 1960 menjadi sekitar 1.300.00. Pada tahun 1960 dalam sidang di Girisonta, Jawa Tengah, para waligereja menulis surat kepada Sri Paus agar beliau meresmikan berdirinya Hirarki Gereja Indonesia. Melihat perkembangan itu Sri Paus Yohanes XIII menyambut positif dengan menerbitkan Dekrit Quod Christus Adorandus pada 3 Januari 1961. Sri Paus memandang bahwa Gereja Katolik Indonesia memang sudah dapat mandiri, sehingga beliau dengan senang hati mendirikan Hirarki Gereja Katolik Indonesia. Bersamaan dengan itu Sri Paus berharap agar Pemerintah Republik Indonesia selalu melindungi agama Katolik dan segala kegiatan ibadatnya. Sri Paus tak lupa pula mendoakan agar negara
Republik Indonesia mencapai kesejahteraan lahir batin. Beliau juga berharap agar Gereja Katolik Indonesia semakin mengakar dan membumi dalam alam kehidupan bangsa sendiri.
Sejak saat itu 20 vikariat apostolik dan 7 prefektur apostolik ditingkatkan menjadi keuskupan (diosis) yang mempunyai wewenang penuh untuk mengatur penggembalaan di wilayahnya, dalam 6 provinsi gerejani: Keuskupan Agung Medan, Jakarta, Semarang, Pontianak, Makasar, dan Ende. Di kemudian hari dimekarkan dengan Keuskupan Agung Merauke (1966), Kupang (1989), Palembang (2003) dan Samarinda (2004). Vikariat Apostolik Bandung ditingkatkan menjadi Keuskupan Bandung dalam provinsi gerejani Keuskupan Agung Jakarta. Perubahan menjadi Keuskupan Bandung diresmikan pada 2 Juli 1962, dan Mgr. P.M. Arntz, OSC dilantik sebagai Uskup Keuskupan Bandung.
Di sekitar waktu itu pula diselenggarakan Konsili Vatikan II (1962-1965) yang memperbarui hampir seluruh kehidupan gerejani. Pada kesempatan berkumpul di Roma, para uskup Indonesia berkonsolidasi mengembangkan diri sebagai rekanan yang lebih kompak dalam menggembalakan keuskupan-keuskupan Indonesia. Sejak itu secara berkelanjutan Gereja Katolik Indonesia semakin mampu merancang dan membangun masa depannya sendiri. (Krismastono)

27 November 2010,
Tim Penulisan Sejarah Keuskupan Bandung

Sumber : Keuskupan Bandung

About iskasurabaya09

social blog
This entry was posted in ARTIKEL and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a comment