Mengenang Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono

Nama kecilnya, Oei Tik Hauw. Kelak, ia disapa Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. Lahir pada 26 September 1953. Ia adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Ayahnya Oei Kok Tjia, Karyawan di PAL  (Penataran Angkatan Laut) dan ibunya Oei Kok Tjia, seorang ibu rumah tangga.  Pada masa kecilnya, Oei Tik dipanggil ‘Nyooce”. Artinya sinyo kecil. Sinyo berarti anak laki-laki yang belum kawin. Oei Tik lahir dari keluarga yang belum menjadi Katolik dan kultur keluarga ini lebih dahulu mengenal bahasa Belanda ketimbang bahasa Indonesia.

Hal ini bisa dipahami karena wilayah di Perak, tempat kelahiran Oei Tik secara umum menjadi wilayah kekuasaan Belanda sebelum kemerdekaan. Penguasaan ini terjadi sejak tahun 1743 sesudah diserahkan oleh Kerajaan Mataram. Segala infrastruktur dibangun Belanda untuk mempermudah alur perjalanan kapal melintasi Surabaya.  Akibat kegiatan perekonomian yang terus melesat, Pelabuhan Kalimas dianggap tidak mampu lagi menampung aktivitas pelabuhan, terutama untuk kapal-kapal besar. Maka dari itu, VOC membangun Pelabuhan Tanjung Perak di sebelah barat. Setelah kemerdekaan, pelabuhan ini menjadi pintu gerbang untuk wilayah Indonesia Timur sehingga aktivitas di Tanjung Perak semakin berkembang. Secara sosial di wilayah ini terjadi perjumpaan dengan orang dari berbagai latarbelakang karena mobilitas penduduk melalui jalur laut.

Dari sisi politis, tahun 1953, merupakan tahun yang mana Indonesia baru merdeka 8 tahun dan masih dalam pemerintahan Orde Lama. Tentu dengan segala macam pembenahan dan negosiasi politik, termasuk urusan ekonomi. Kita tahu bahwa Belanda sendiri masih belum mau mengakui kedaulatan Indonesia sesudah kekalahan Jepang.

Pada tahun 1959,  ketika usia Oei Tik Hauw mulai memasuki usia 6 tahun, ia masuk TKK St. Anna. Pada tahun 1961, Oei Tik Hauw melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDK St. Mikael, Perak – Surabaya. Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Yohanes Gabriel. Saat itu pengurus pusat Yayasan Yohanes Gabriel dipegang oleh Romo  Kumorowidjojo Pr dan pengurus lokalnya Romo Herman Kock CM. Oei Tik kagum dengan Romo Herman Kock, CM. imam misionaris ini yang memberi kesempatan kepada Oei Tik untuk menjadi misdinar, walaupun ia belum dibabtis Katolik.

Kwa Siok, ibu dari Oei Tik adalah orang pertama yang mendorong keluarganya untuk menjadi Katolik. Ia mengikuti kursus menjadi katolik selama 4 tahun. Dalam tahun-tahun itu, ada satu tradisi dalam gereja Katolik bahwa mereka yang belum dibabtis kalau mau ikut perayaan ekaristi, harus duduk di kursi belakang, sedangkan mereka yang sudah dibabtis duduk di bagian depan. Kwa Siok yang saleh itu, sesudah misa langsung maju ke depan dan berdoa secara khusus di depan patung Bunda Maria. Sedangkan ayah dari Oei Tik masih menunda keputusan untuk belajar Katolik sampai diingatkan oleh Romo Van  Rijsoever dalam perumpamaan. “Ibarat perjalanan ke surga, misalnya satu keluarga sudah meninggal. Ibu dan ketiga anak ke surga naik kapal bernama katolik sedangkan bapaknya harus terpisah mengayuh kapal sendiri”. Mendengar nasehat itu Oei Kok Tjia belajar Katolik. Keluarga sederhana ini dibabtis Katolik pada tanggal 07 Mei tahun 1966.  Agar anak-anaknya bisa mengenal dan memperdalam nilai-niai Katolik, anak-anak disekolahkan di sekolah Katolik.

Setahun sebelum itu, yakni 1965, merupakan tahun politik yang berat karena ada peristiwa G30 S PKI yang diikuti dengan munculnya presidium bernomor 127/U/KEP/12/1966 isinya perubahan nama Cina ke nama Indonesia. Sehingga Oei Tik Hauw menjadi Sutikno Wicaksono. Ibunya Kwa Siok Nio menjadi Mardijanti, ayahnya Oei Kok Tjia menjadi Widiatmo Wisaksono. Kakak sulungnya Oei Lwan Nio menjadi Reniwati sedangkan adiknya Oei Swan Ni menjadi Mia Swandayani. Urusan politiknya tidak saja berhenti pada pergantian nama, tetapi juga kebijakan-kebijakan politis yang diskriminatif terhadadap warga keturunan Cina. Tentu tidak mudah melewati masa ini. Sutikno Wisaksono, sesudah menjadi Katolik, ia mendapat nama Santo Pelindung Vincentius sehingga nama lengkapnya saat ini Vincentius Sutikno Wicaksono.

Di tiap jenjang pendidikan, para pendidik Sutikno melihat ada hal yang unik di dalam diri peserta didik ini sehingga mereka menyampaikan kepada Mardijanti agar Sutikno melanjutkan pendidikan di seminari.

Tahun 1969 Romo Holtus CM mendaftarkan Sutikno masuk Seminari menengah. Pendidikan di Seminari ia lewati dengan sekian banyak dinamika. Tanggal 21 Januari 1982, Sutikno  ditahbiskan menjadi Imam oleh Mgr J. Klooster CM.  Tahun 1987 Mgr. AJ. Dibjakaryana, Pr menugaskan Romo Sutikno studi master di bidang psikologi konseling di De La Salle University, Manila Filipina. Tahun 1991 ia mengakhiri studi dan pulang ke Indonesia dan Tanggal 11 September 1991 menjadi Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan Beato Giovanni- Malang. Tahun 2005 ia kembali ke Keuskupan Surabaya untuk lebih fokus dalam mengerjakan desertasinya. Ia mengerjakan desertasi selama kurang lebih enam bulan di Sasana Krida Jati Jejer, Trawas.Tanggal  23 Desember 2004 Mgr. Yohanes Hadiwikarta, Pr meninggal.  Kosongnya kursi kegembalaan di Keuskupan Surabaya terjadi selama kurang lebih 3 tahun Pada tanggal 1 April 2007 Bapa Suci menunjuk Romo Sutikno, Pr lewat Pro Nuncio. Mgr. Sutikno Wisaksono ditahbiskan menjadi uskup pada tanggal 29 Juni 2007 di Stadion Wijaya Kusuma-komplek Kodikal, AAL, Surabaya. Terhitung sejak tahun 2007 sampai tahun 2023, Mgr. Sutikno Wisaksono sudah menjadi Uskup di Keuskupan Surabaya selama 16 tahun.

Sumber:

https://keuskupansurabaya.org/page/mgr-vincentius-sutikno-wisaksono-keberanian-seoran/

Karyadi, Kanisius., Sang Maestro dari Perak . Sidoarjo: Karol Media. 2007.

About iskasurabaya09

social blog
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment