Hidup dan Perjuangan I.J. Kasimo (1900 – 1986)
MENGUSUNG POLITIK BERMARTABAT
Perkembangan kebijakan pemeritahan kolonial juga terjadi ketika pemikiran liberal yang diikuti oleh pemikiran etis mulai masuk dalam pemikiran para politisi dalam pemerintahan. Tiga kebijakan yang kemudian menjadi sangat penting adalah kebijakan tentang peningkatan pendidikan, irigasi, dan transmigrasi. Pendidikan telah mengubah masyarakat karena lewat itu mereka yang terdidik memiliki kesempatan lebih luas untuk bekerja, berorganisasi, dan terlibat dalam masalah sosial dan politik masyarakatnya. Perubahan itu juga memungkinkan orang Katolik, bagian kecil dari bangsa Indonesia untuk bangkit untuk ambil bagian dalam perjuangan.
Semangat Kebangsaan
Pada awal Abad ke-20 dii Hindia Belanda golongan Katolik masih menjadi seperti golongan “paria” di India. Di negeri Belanda, ketika Hindia Belanda membangun Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) pada tahun 1830-an – dengan menswastakan berbagai perkebunan – golongan Katolik masih sibuk mengurusi hak-haknya, seperti hak untuk membangun gereja, mendirikan sekolah Katolik, dan ikut menyebarkan misi Katolik sebagaimana dimiliki oleh golongan Protestan. Peran Pastor Belanda yang Katolik di Hindia Belanda menjadi lebih kompleks. Di satu pihak harus berjuang melawan bangsanya sendiri yang Protestan; di lain pihak harus menghadapi kaum bumiputera. Para pastor Belanda, salah satunya adalah Pastor Frans van Lith, SJ menjadi lebih bersimpati dan kemudian memihak kepada orang Bumiputera.
Kasimo yang dilahirkan di Yogyakarta pada 10 April 1900 mengikuti pendidikan guru di Kolese Xaverius Muntilan yang diasuh oleh Pastor van Lith. Lewat pendidikan yang dijalaninya, termasuk Sekolah Menengah Pertanian di Bogor, Kasimo menjadi pribadi yang memiliki karakter, yaitu memiliki pikiran terbuka, menghargai hidup sebagai manusia dan mensyukurinya lewat pengabdian kepada masyarakat, dengan bekerja jujur, penuh dedikasi, dan tanpa pamrih. Banyak penduduk Katolik terdorong untuk berjuang dengan menjadi anggota pergerakan yang berdasarkan kebangsaan seperti Boedi Oetama. Tetapi lambat laun timbullah kesadaran bahwa menjadi anggota organisasi yang “netral” terhadap agama Katolik kurang memadai untuk memperjuangkan cita-cita Katholik. Pada tahun 1923 sesudah golongan Katholik di Jawa merasa keadaaanya memungkinkan mengadakan organsiasi politik sendiri, ialah PPKD (Pekempalan Politik Katholik Djawa) kemudian diganti Perkumpulan Politik Katholik di Djawa). Lewat organisasi tujuan “kebangsaan” (=kemajuan tanah Jawa) dapat dicapai menurut jalan yang sesuai dengan asas-asas Katholik. Halauan PPKD harus “evolusioner”, artinya menurut jalan yang teratur, dan gradual (Bdk. I.J. Kasimo dalam Peringatan Perdjiangan Politik Kathiolik Indonesia, 1949, hlm 16 -17). Seturut halauan itu, politik Katolik yang dijalankan dialog dan pelayanan nyata.
Dengan keahliannya, Kasimo memanfaatkan keanggotaannya dalam Volksraad untuk berjuang untuk perbaikan pertanian (Bdk. buku Gerry van Klinken, Minorities, Modernity and The Emerging Nation, Leiden: KITLV, 2003, hlm. 66). Setahun setelah ia diangkat menjadi anggota Volksraad. tepatnya pada tanggal 19 Juli 1932, Kasimo melontarkan pernyataannya, “Tuan Ketua! dengan ini saya menyatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa”. Pernyataan itu ditolak, termasuk oleh IKP (Indische Katholieke Partij atau Partai Katolik Hindia). Jika IKP tidak setuju dengan pernyataan Kasimo, hirarki gereja Katolik sebaliknya menyetujuinya. Kasimo ikut serta dalam Petisi Soetardjo yang diajukan pada tanggal 15 Juli 1936. Seperti diketahui, usaha-usaha perjuangan untuk “Kooperatif” dengan pemerintahan jajahan seperti itu selalu tidak membawa hasil. Tetapi, dalam kerangka realitas masa itu (tahun 1920-an) halauan itu tentu paling memungkinkan bagi golongan Katolik yang masih kecil dalam jumlah dan tentu korelasi mereka dengan para guru dan pendidik mereka yang bagaimana pun adalah orang-orang Belanda.
Politik sebagai Sarana Perjuangan
Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara pendudukan Jepang, nampak adanya perubahan dalam sikap Kasimo. Terlebih-lebih setelah Jepang kalah dan Republik Indonesia berdiri. Sebuah organisasi yang menggunakan nama Katolik, menyetujui suatu revolusi menentang pemerintahan yang oleh hukum internasional masih dianggap sah. I.J. Kasimo kemudian diangkat menjadi anggota penuh Delegasi RI untuk perundingan dengan pihak Belanda, Pada waktu itulah Sutan Sjahrir menyarankan agar anggota Delegasi RI diperkuat dengan I.J. Kasimo dari PKRI dan Supeno dari Partai Sosialis. Hasilnya, Belanda memang bersedia bertemu Indonesia di meja perundingan. Sebagai anggota Delegasi Indonesia, Kasimo dengan diam-diam la berusaha mengadakan pertemuan rahasia dengan anggota Delegasi Belanda, Max van Poll. Sebab pada waktu itu sudah terdengar desas-desus aksi militer terhadap Republik Indonesia yang dianggapnya tidak menepati Persetujuan Linggarjati. Tetapi, Kasimo harus kecewa dengan dengan Max van Poll yang menolak gagasannya.
Setelah Kabinet Sjahrir III jatuh, dibentuk Kabinet Amir Sjarifuddin. Di dalam kabinet Kasimo mendapat kursi Menteri Muda Kemakmuran. Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan militernya yang pertama terhadap Republik Indonesia. Sebelum meninggalkan Sarangan menuju Yogyakarta Presiden dan rombongan masih sempat mendengarkan siaran radio berisi pidato Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ yang menghimbau dengan sangat agar bentrokan senjata itu dihentikan. Kepada seluruh umat Katolik ia menyerukan agar mereka memberikan dukungan dan bantuan mereka kepada Republik. Seperti gayung bersambut Kasimo dalam pidatonya di hadapan anggota-anggota KNIP pada tanggal 12 November, 1947 dengan keras mengecam sikap Amerika Serikat yang terang-terangan memihak Belanda itu dan meminta untuk menepati Piagam Atlantik dan Piagam PBB. Dalam masa perjuangan itu, terasa sekali kekurangan pangan bagi rakyat, terutama juga karena sebagian dari wilayah Republik memang terdiri dari daerah minus dan banyaknya ratusan ribu pengungsi dari daerah-daerah yang diserbu oleh pasukan Belanda. Kasimo sebagai Menteri Muda Kemakmuran yang ikut bergerilya harus memikirkan mengenai masalah sandang dan pangan ini. Kemudian lahirlah “Kasimo Plan” yaitu rencana produksi 3 tahun (1948-1950) yang sederhana, yang terutama dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan darurat pada waktu itu. Selama perjuangan gerilya, Kasimo bersama Kol. A.H. Nasution menjalankan fungsi pemerintahan negara (kekuasaan Eksekutif) dengan membentuk KPPD (Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa) selama Presiden dan Wakil Presiden RI ditawan Belanda.
Politik yang Bermartabat
Bagi Kasimo, politik sebagaimana hidup seorang manusia adalah perjuangan. Dalam perjuangan yang jauh dari pamrih pribadi berupa nama harus atau jabatan itu, seseorang menemukan makna hidupnya.
Seperti Yesus yang benar-benar masuk dan terlibat dalam kehidupan “politik” bangsa Yahudi, “[..] untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas [..]” (Lukas 4: 18 – 19). Karena politik adalah perjuangan maka harus ada prinsip sebagai pegangan. “Setiap perjuangan harus mendasarkan pada prinsip-prinsip, suatu beginsel yang jelas, bukan soal senang dan tidak senang,” tegas Kasimo dalam suatu kesempatan. Prinsip itu adalah bekerja dengan jujur, tanpa pamrih, berdampak nyata bagi masyarakat atau konkrit. Prinsip itu harus diupayakan dengan sarana. Menurut Kasimo, “Sarana yang dipakai bagaimana, apakah secara umum, normative dapat diterima oleh masyarakat. Jangan ugal-ugalan tetapi dengan cara yang baik” (Bdk. dalam Mingguan Hidup, 27 April 1980).
Partai politik adalah sarana dan bukan tujuan. Itu pula yang menjadikan Kasimo berbesar hati menerima Partai Katolik RI yang didirikannya berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1971. Bagi Kasimo, tolok ukur, apakah partai digunakan untuk kepentingan masyarakat adalah kesungguhan dalam usaha, menjauhkan diri dari pamrih pribadi akan jabatan dan kekayaan lewat keteladanan hidup yang baik dan sederhana. Dalam kerangka kesungguhan itu Kasimo pernah kecewa dengan Sjahrir, “Terbiasa dengan cara kerja dalam Volkraad itu, terus terang saya kurang mengerti sikap Perdana Menteri Sjahrir dalam siding plemno KNIP”. Kasimo kecewa karena dalam sistem parlementer mestinya Sjahrir berani beradu argumen yang memakan waktu, tetapi sebaliknya Sjahrir hanya memajukan argument singkat-singkat saja. (Bdk. tulisan Kasimo, “Bung Kecil dalam Pandangan Saya” dalam Mengenang Sjahrir, Jakarta: GPU, 2010, hlm 209). Dalam kerangka itu Kasimo merasa lebih dekat dengan Moh. Hatta atau Moh. Natsir yang secara politik bertentangan dari pada dengan tokoh-tokoh PNI yang lebih kompromis terhadap Bung Karno. Alasan prinsip pula, Kasimo menolak untuk menyetujui Konsepsi Presiden dengan Kabinet Kaki Empat-nya. Karena dalam kabinet presidensial tidak bisa diterapkan kedudukan menteri dalam sistem parlementer. PKI yang masuk dalam kabinet itu dapat dengan mudah menghindar dari tanggung jawab dengan berlindung di balik presiden. Komunisme ditentang Kasimo bukan pertama-tama karena atheisme yang bertentangan dengan Pancasila, tetapi dalam pengalaman sejarah di negeri Eropa Timur, lewat cara demokratis dengan pemilihan umum, partai komunis mematikan demokrasi dengan menindas dan mematikan partai-partai lain.
“Saya banyak belajar dari Almarhum Mgr. Albertus Sugiyopranoto SJ, Uskup Indonesia pertama, beliau itu guru saya [..] Beliau menasehati saya untuk membaca sebanyak-banyaknya buku-buku Katolik yang memuat prinsip-prinsip (beginsel) Katolik. Satu contoh, “salus populi suprema lex” artinya kesejahteraan umum merupakan hukum utama. Semboyan ini juga yang menjadi landasan perjuangan Partai Katolik” (Hidup, 27 April 1980). Kekatolikan atau hidup keagamaannya tidak berlawanan dengan hidup kenegaraan atau hidup bermasyarakat. “Menurut saya sebagai orang Katolik bila hidup sesuai dengan azas-azas Katolik berarti sudah hampir mendekati Pancasila” (Bdk. Hidup, 1980). Seseorang yang rela berkorban seperti Kasimo mengandaikan suatu kesadaran sejarah, suatu sense of history yang tinggi. Suatu kesadaran bahwa hari kemarin menentukan hari ini dan hari ini menentukan hari esok dalam suatu proses yang kontinyu. Banyak hal bisa dibicarakan dengan Kasimo dari dunia sampai akhirat tetapi tentang pengorbanan dan penderitaan yang dialaminya tidak akan pernah terlihat dalam roman, ucapan, atau keluhan. Motto perjuangannya seperti salus populi suprema lex kesadaran umum di atas segala-galanya sikapnya senantiasa menyatakan yang benar dan mengambil keputusan praktis berdasarkan “minus malum” (memilih yang kurang jahat/bahaya di antara yang jahat/berbahaya). Kasimo telah menunjukkan politik dengan prinsip dan menolak politik oportunisme meskipun dengan risiko bagi kepentingan pribadi dan golongan. Semua itu menunjukkan suatu kesadaran yang tinggi akan prioritas dalam politik. Dengan prinsip itu, para pemimpin bangsa dan masyarakat akan menemukan pedoman dan arah dalam membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan sejahtera. (J.B. Soedarmanta) ***